DPR Bentuk Tim Tuntaskan Masalah Outsourching Di Lingkungan BUMN
Panja Outsourching BUMN Komisi IX DPR RI akan membentuk Tim Kecil bersama Pemerintah untuk menyelesaikan persoalan penyerahan sebagian pelaksanaan pekerjaan pekerja terutama di lingkungan BUMN.
Hal tersebut merupakan salah satu kesimpulan Rapat Dengar Pendapat Panja Outsourching BUMN Komisi IX dengan Dirjen PHI dan Jamsos Kementerian Tenaga Kerja dan Transmigrasi, Ruslan Irianto Simbolon yang membahas mengenai penerapan Peraturan Menakertrans Nomor 19 Tahun 2012 tentang syarat-syarat penyerahan sebagian pelaksanaan pekerjaan kepada perusahaan lain, di Gedung DPR RI, Jakarta, Senin (26/8)
“Komisi IX DPR RI bersama Pemerintah, juga akan melakukan sosialisasi pemahaman mengenai pelaksanaan penyerahan sebagian pekerjaan, sehingga tidak ada penyimpangan dalam implementasinya,” kata Ketua Komisi IX, Ribka Tjiptaning saat memimpin rapat tersebut.
Sebelumnya, dalam kesempatan yang sama, Anggota Panja Komisi IX mempertanyakan istilah “outsourching”, “alih daya” atau “penyerahan sebagian pelaksanaan pekerjaan”.
Zulmiar Yanri (F-PD) meminta Komisi IX dan Pemerintah untuk menyamakan persepsi terlebih dulu terhadap penggunaan kata outsourching atau alih daya. Zulmiar menyarankan untuk menggunakan istilah yang ada dalam peraturan perundangan.
“Saya hanya saya ingin antara kita ini menyamakan persepsi dengan peraturan perundangan yang ada. Sudah berapa kali hal ini saya sampaikan tetapi saya agak heran juga, Pak Dirjen juga dalam presentasinya tadi menyebutkan beberapa istilah, ada outsourching, ada alih daya, ada penyerahan sebagian pelaksanaan pekerjaan,” kata Zulmiar Yanri (F-PD).
Menurutnya, dalam Permenakertrans Nomor 19 Tahun 2012 hanya ada istilah penyerahan sebagian pelaksanaan pekerjaan yaitu melalui pemborongan pekerjaan atau melalui penyedia jasa.
“Kami Komisi IX sudah pergi ke Bali, NTB, hal ini juga menimbulkan kebingungan. Pada PNS juga menimbulkan kebingungan juga, mereka menggunakan istilah outsourching tapi bukan lima jenis pekerjaan tadi tapi ada 22 jenis pekerjaan. Oleh karena itu tadi, mana yang pemborongan pekerjaan, mana yang penyediaan jasa. Jadi itu dulu pimpinan sebelum terus, kita samakan dulu persepsi,” tegas Zulmiar.
Menjawab pertanyaan Zulmiar, Dirjen PHI dan Jamsos, Ruslan Irianto Simbolon mengakui perbedaan istilah tersebut. Dijelaskan Ruslan, bahwa dalam Keputusan Mahkamah Konstitusi Nomor 27 Tahun 2011 mengatakan outsourching, kalau Permenakertrans Nomor 19 Tahun 2012 masih konsisten kepada UU Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan yaitu penyerahan sebagian pelaksanaan pekerjaan kepada pihak ketiga atau perusahaan lain.
Dalam komunikasi, kata Ruslan, karena masyarakat sudah tercipta dalam benaknya adalah outsourching, akibatnya akhirnya dalam persepsi pelaksanaannya jadi kacau.
Padahal menurut UU 13/2003 dan Permenakertrans 19/2012, outsourching itu boleh melalui pemborongan atau penyediaan jasa.
Tapi kalau penyedia jasa ini hanya lima, yaitu usaha pelayanan kebersihan, penyediaan makanan bagi pekerja, tenaga pengaman, usaha jasa penunjang di pertambangan dan perminyakan, dan usaha penyediaan angkutan bagi pekerja.
“Walaupun nanti asosiasi memutuskan ada 20 alur pekerjaan yang non core atau penunjang, tapi yang lima saja yang boleh melalui Penyedia Jasa Pekerjaan yang lainnya melalui pemborongan pekerjaan. Kami akui itu, kami mohon dan meminta Komisi IX untuk bersama-sama mensosialisasikannya,” papar Ruslan. (sc), foto : wy/parle/hr.